Friday, August 3, 2007

Bisnis MLM, Antara Bonus Dan Keuletan

ANDA kenal Ratih Sang? Tentunya, nama orang tersebut tak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia. Dia adalah mantan peragawati dan model terkenal akhir-akhir ini.

Adapun yang menarik dari Ratih Sang yakni pengakuannya yang menyebutkan sering "diprospek oleh bos-bos perusahaan MLM".

Lalu, apa yang dimaksud "diprospek"?

Apa pula perusahaan "MLM"?

Usut punya usut, "diprospek" adalah sebuah istilah yang bermakna kegiatan seseorang mendekati atau memengaruhi orang lain agar ikut bergabung dalam jaringan bisnis bersifat MLM. Ya, di tengah masyarakat, tentunya kita sering menyaksikan atau mengalami sendiri ketika ada rekan atau tetangga yang "memprospek" untuk masuk dalam jaringan bisnis MLM.

Ihwal "MLM", itu merupakan kepanjangan dari multilevel marketing.

Selanjutnya, apa saja perusahaan yang menggunakan pola MLM?

Berdasarkan catatan "Hikmah" ternyata cukup banyak, seperti ada Ahad-Net Internasional, CNI, SM "CNA", Luxor, dan lain-lainnya.

Siapakah orang-orang yang bergabung dengan bisnis MLM tersebut?

Jawabnya, mayoritas adalah kaum laki-laki dan perempuan dewasa, baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga. Di antara mereka itu, ada yang sampai memperoleh bonus puluhan juta rupiah. Bahkan, ada yang nekat mengajukan pensiun dini dari tempatnya bekerja demi menekuni bisnis MLM.

Sungguh, fenomena berbisnis dengan model MLM sedang mewabah di Indonesia. Walaupun sebenarnya di negara asalnya perkembangan MLM ini kurang begitu baik, ternyata di negara-negara Asia perkembangannya di luar dugaan. Tak hanya Indonesia, Malaysia pun mengalami hal yang sama, tak salah bila perhatian kedua negara ini begitu intens terhadap MLM. Setidaknya perkembangan MLM tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional akibat salah urus dan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dengan menggunakan model yang sama.

Bagaimanakah sebenarnya bisnis MLM?

Menurut Diana Sari, S.E., Mgt., staf pengajar Fakultas Ekonomi Unpad, dalam bisnis MLM sebenarnya terkandung praktik salesmanship. Maksudnya, seorang calon mitra diajak untuk bergabung dengan berbagai cara yang menarik baginya, mulai dari cara mengenali kepribadian seseorang dan pendekatan yang dilakukan (approach) hingga akhirnya mengajak untuk ikut presentasi dan akhirnya diajak bergabung dalam bisnis tersebut.

Sebenarnya, lanjut Diana, dia suka menganjurkan mahasiswa saya untuk mengikuti kegiatan bisnis seperti ini, setidaknya untuk menambah mengalaman dan belajar sisi baiknya. Sebut saja dengan belajar bagaimana menyiapkan sebuah presentasi dan cara bersosialiasi.

"Para penjual dalam bisnis ini sangat memahami produk knowledge (pengetahuan tentang produk-red.), yang mungkin jarang sekali didapat pada pekerjaan lain. Kemudian, ada juga katalog untuk panduan berjualan, pengalaman-pengalaman ini bisa mendorong seseorang untuk mengetahui bagaimana berbisnis dengan konsep pemasaran yang baik," tutur sekretaris Laboratorium Manajemen Unpad ini.

"Hanya, kesalahan yang kerap dilakukan adalah segmentasi yang kurang begitu diperhatikan. Penjual yang mengajak calon mitra lainnya untuk bergabung tak melihat ukuran yang pantas, di mana dan siapa orang yang sebaiknya diajak agar bisnis bisa berkembang karena tidak setiap produk bisa diterima semua kalangan, apalagi kondisi ekonomi Indonesia yang belum begitu baik, " imbuhnya.

MLM merupakan bisnis dengan market share (pangsa pasar) yang terbatas, dalam pemasaran bisanya disebut Market Niche (ceruk pasar), yang karakteristiknya sangat khas. Biasanya kebijakan penetapan harga pada level premium, yang kualitas dan benefit tinggi (diutamakan), diimbangi dengan harga yang tinggi pula. Tak salah bila melihat produk serupa di pasaran, produk-produk MLM ini akan terasa mahal. Untuk produk tertentu mungkin bisa diterima karena konsumen lebih melihat benefit-nya ketimbang harga.

Dalam praktik salesmanship, ungkap Diana, yang tak kalah penting untuk sukses dalam bisnis MLM ini adalah mengidentifikasi personal dalam menghadapi setiap calon pelanggan maupun calon mitra. Kemudian, Diana menjelaskan pengalamannya ketika mengikuti salah kegiatan pelatihan yang digelar Academia Education & Training. Mungkin ini sangat berguna bagi penjual untuk sukses dalam berbisnisnya.

Yang dimaksud identifikasi personal ini adalah mengetahui tipe seseorang. Ada yang berkepribadian normal, ini ditunjukkan oleh keinginan dan kebiasaan orang tersebut berorientasi pada hal yang wajar-wajar saja.

Sementara itu, tipe penggerak atau motivator yang biasanya banyak dimiliki oleh seorang penjual memiliki ciri-ciri keinginan yang tiada henti, dengan memiliki optimisme, memiliki rasa sosial yang tinggi, dan kepribadian yang fleksibel atau mudah bergaul.

Tipe lainnya dalah peresah atau yang suka mengeluh. Tipe seniman, yang suka menciptakan sesuatu. Tipe politikus, selalu ingin berada di atas, memiliki sikap menjaga citra diri dengan menjaga jarak pada setiap orang yang mendekatinya. Tipe insinyur, yang suka bekerja dengan menyelesaikan suatu rencana dengan tuntas dan baik, serta tipe penggiat, tipe orang yang lebih berorientasi pada nilai materi yang akan didapatnya.

Bila memahami tipe-tipe tersebut, setidaknya akan mempermudah komunikasi dan pendekatan (approach). Setidaknya dengan memahami karakteristik lawan bicara tersebut, akan menghindari salah dalam menentukan orang yang pantas untuk dijadikan downline.

Tipe-tipe ini bisa dipelajari dan seseorang bisa mengidentifikasinya. Bahkan mungkin sekali bisa mengubah tipe kepribadian yang dimilikinya agar menjadi penjual yang baik dengan tipe penggerak (motivator) atau penggiat yang berorientasi terus pada profit penjualan.

Di sisi lain, MLM dipahami sebagai bagian dari direct selling. Ada single level, unlimited level, dan multilevel. Keseluruhannya disebut direct selling.

Dalam konteks ini, menurut Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Helmy Attamimi, ada 12 perbedaan direct selling dan sistem piramida.

Direct selling, keuntungan atau keberhasilan mitra usaha ditentukan dari hasil kerja dalam bentuk produk atau jasa yang bernilai dan berguna untuk konsumen. Sementara dalam sistem piramida, keuntungan atau keberhasilan anggota ditentukan dari seberapa banyak yang bersangkutan merekrut orang lain yang menyetor sejumlah uang sampai terbentuk satu format piramida. Ini kan jelas artinya bahwa pada MLM, keberhasilan didapat dari menjual barang, sedangkan dalam sistem piramida, keberhasilan terletak pada merekrut orang.

Kalau kita mengambil istilah dari World Federation Direct Selling Association dikatakan bahwa pendapatan utama dalam direct selling harus didapatkan dari penjualan barang atau jasa, bukan dari merekrut orang saja.

Yang kedua, pada direct selling, setiap orang hanya berhak menjadi mitra usaha sebanyak satu kali saja. Kalau sudah sekali menjadi anggota, you tidak bisa menjadi anggota lagi atau "membeli kaveling". Sementara itu, pada sistem piramida, setiap orang boleh menjadi anggota berkali-kali dalam satu waktu tertentu.

Perbedaan berikutnya, pada direct selling, biaya untuk mendaftar menjadi anggota tidak terlalu mahal, masuk akal, dan imbalannya adalah starter kit yang senilai. Biaya pendaftaran tidak dimaksudkan untuk memaksakan pembelian produk dan bukan untuk mencari untung dari biaya pendaftaran.

Artinya, kalau kita mendaftar, kita tidak mutlak diharuskan membeli sekian banyak produk. Kita kan memberikan starter kit kepada mereka dan itu nilainya harus berimbang dengan apa yang tercantum di dalam starter kit-nya, apakah hanya brosur, kertas stensilan, atau ada produknya.

Lantas sistem piramida sendiri seperti apa? Biaya pendaftarannya bisa setinggi langit. Misalnya ada satu perusahaan -- yang saya tahu, kata Helmy, yang starter kit-nya paling hanya Rp 10.000, tapi dia jual dengan harga Rp 65.000. Itu kan artinya dia mengambil keuntungan dari starter kit. Starter kit juga bisa dibeli berulang-ulang oleh orang yang sama supaya cepat naik peringkat. Ini perusahaan mau cari untung dari starter kit atau mau menjual barang?

Dalam penjualan barang pun, mestinya kan anggota harus beli dalam batas kemampuan dia untuk menjualnya kembali. Tentu dia boleh membeli untuk memakainya sendiri. Itu boleh saja. Akan tetapi, kita tidak boleh mengatakan bahwa you harus beli minimal sekian. Jadi, dia beli sebanyak mungkin, lalu apakah nanti barangnya mau dia buang ke laut, bodo amat. Yang penting, barangnya dibeli. Itu yang di MLM tidak boleh.

Perbedaan lainnya adalah pada direct selling, keuntungan yang didapat mitra usaha dihitung berdasarkan hasil penjualan dari setiap anggota jaringannya. Artinya, keuntungan didapat dari hasil jualan dia sendiri dan dari seluruh grupnya.

Pada sistem piramida, keuntungan yang didapat anggota dihitung berdasarkan sistem recruiting.

Dalam direct selling, pelatihan produk menjadi hal yang sangat penting, karena produk harus dijual sampai ke tangan konsumen, tetapi pada sistem piramida tidak ada pelatihan produk. Alasannya, komoditas hanyalah rekrut keanggotaan. Produk dalam sistem ini hanyalah satu kedok saja.

Misalnya, ada sebuah perusahaan yang punya showroom yang bagus. Dijual segala macam barang, termasuk lukisan, bahkan lukisan murah dijual mahal. Mereka beralasan bahwa lukisan itu barang seni yang berharga. Itu dijual tidak dengan paksa. Padahal, barang di situ hanya sebagai kedok. Yang jelas, mereka yang menyetor uang setiap bulan harus belanja.

Contoh lainnya, komputer yang paling-paling seharga 1.500 dolar AS dijual dengan harga 15.000 dolar AS. Mereka beralasan lain dengan menganalogikan secangkir kopi Rp 1.500,00 yang dijual di warung tegal, tetapi kalau di hotel bintang lima harganya Rp 15.000,00.

* *

APAKAH benar bisnis MLM ini mirip dengan praktik penggandaan uang, sebagaimana yang diduga oleh K.H. Hasyim Asy' Ari, dalam kasus jual beli koin emas bergambar pendiri NU, K.H. Hasyim Asy'ari -- yang dikelola perusahaan asing Golden Quest International (GQI) yang berpusat di Hong Kong -- itu?

Perihal pertanyaan tersebut sering mengemuka dan salah satunya dalam sebuah lokakarya di Jakarta, baru-baru ini. Dalam Lokakarya "Setengah Hari Bersama Amway Indonesia" di Sheraton Bandara Jakarta, Ketua Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), Helmi Atamimi mengatakan bahwa aturan penjualan langsung atau MLM (multilevel marketing) di Indonesia sesungguhnya masih sangat lemah.

Alasannya, hanya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 73/MPP/3/2000 tentang izin usaha penjualan berjenjang. Kelemahan tersebut sering dimanfaatkan pihak lain dalam menjalankan praktik penggandaan uang atau money game berkedok MLM.

Salah satu upaya menghadang tumbuhnya praktik penggandaan uang yang dibalut MLM, RUU Antipenggandaan Uang harus segera dibahas oleh DPR RI. Apalagi, RUU tersebut sudah disiapkan APLI kepada DPR dan telah dibahas dengan pemerintah.

Di Indonesia, saat ini tercatat 107 perusahaan yang memasarkan produk dan jasa dengan sistem penjualan langsung. Dari jumlah tersebut, hanya 57 perusahaan yang terdaftar sebagai anggota APLI.

Seluruh perusahaan tersebut telah memiliki 4.765.353 distributor dengan nilai penjualan sebesar Rp 4,4 triliun. Sistem penjualan langsung sangat prospek karena tidak membutuhkan investasi dalam jumlah besar.

Presdir PT Amway Indonesia, Koen Verheyen mengatakan bahwa praktik penggandaan uang sangat berbeda dengan sistem penjualan langsung. Dalam penjualan langsung, ada konsumen, sedangkan praktik penggandaan uang cuma butuh distributor yang menanam dan memberikan iming-iming berupa bunga yang cenderung tidak masuk akal, dan produk yang dipasarkan hanya sebagai kedok.

Indonesia sudah saatnya memiliki UU yang khusus mengatur penjualan produk dan jasa secara langsung. UU ini penting untuk menghindari masyarakat Indonesia dari praktik penipuan dengan menggunakan MLM sebagai kedok. Untuk itu, sangat diharapkan keberadaan UU Antipenggandaan Uang bisa menjadi landasan hukum dan penghalang bagi berlangsungnya praktik usaha yang merugikan masyarakat.

Bagi pelaku MLM, seperti Drs. Wahid -- yang aktif di "CNI" Rancaekek --, masyarakat dari berbagai kalangan tampaknya masih ada yang mengasosiasikan MLM sebagai money game. Sebenarnya bukanlah seperti anggapan itu. Ketahuilah, para pelaku MLM sejati sesungguhnya merasa muak dengan praktik-praktik money game yang terang-terangan menggunakan sistem bonus MLM, padahal sebenarnya penipuan.

Mengapa hal itu terjadi? Alasannya, kurangnya peran pemerintah dan informasi tentang industri MLM yang sebenarnya kepada masyarakat.

"Yang paling menggelikan adalah sedemikian bersemangatnya sebagian warga masyarakat menyerahkan uangnya untuk perusahaan money game dan baru teriak-teriak setelah perusahaan tersebut kabur dengan menggondol uang mereka. Coba seandainya mereka ikut aktif di 'CNI', tentu uang tidak akan hilang dan bahkan meraih bonus berlipat-lipat asalkan ulet," tutur Wahid.

Komisaris Smart Marketing Citra Niaga Abadi (SM "CNA") -- yang pusatnya di Bandung --, Deni Triesnahadi berpendapat bahwa rusaknya citra bisnis MLM tersebut bagaikan pepatah "karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga". Ya, karena ada orang atau perusahaan yang telah menyalahgunakan konsep jaringan semacam MLM atau VM (viral marketing).

Mereka mengambil untung sangat besar dan tidak bertanggung jawab. Tidak sedikit, pengusahanya melarikan uang anggotanya yang sudah terkumpul banyak.

Ketahuilah, sebenarnya MLM adalah sebuah usaha atua bisnis murni seperti halnya usaha atau bisnis lainnya. MLM juga harus dilakukan secara profesional. Tanpa profesionalisme tinggi, hasil yang diperolehnya tidak akan maksimal.

Menjalankan bisnis MLM pun bukan sekadar masuk menjadi anggota, mengajak orang sebanyak-banyaknya, terus dapat bonus besar. Namun, MLM adalah sistem pendistribusian produk. Ada produk yang bergerak dari produsen ke konsumen. Jadi, harus ada "penjualan" secara profesional tentunya.

"Dalam kegiatan ini, ada tiga pihak terkait, yakni perusahaan jaringan, distributor, dan konsumen. Ketiganya tidak boleh ada yang dirugikan," kata Deni Triesnahadi atau akrab dipanggil sebagai ustaz Abu Syauqi.

Lalu, apa komentar para pelaku bisnis MLM bernuansa Islam?

Dwi Kustianti, S.Pd. (Mitrasalur Ahad-Net JBR-32) dan pernah masuk "25 Top Pembelanjaan Mitrasalur Indonesia" selama 2001 berpandangan bahwa konsep MLM sesungguhnya merupakan konsep islami yang telah diterapkan oleh Rasulullaah saw. dalam menyebarkan agama Islam.

"Namun, kaum Muslimin selama ini hanya menerapkan konsep itu dalam konteks dakwah, sedangkan dalam kegiatan ekonomi diterapkan oleh para pengusaha non-Muslim dari Barat. Ya, perusahaan yang diakui pertama kali menggunakan konsep MLM ini adalah Nutrilliete yang berdiri pada 1939 di Amerika Serikat," ujarnya.

Oleh karena itu, konsep MLM Syariah Ahad-Net -- yang mengutamakan silaturahmi dan ukhuwah -- ini diterapkan dengan memerhatikan kaidah-kaidah syariat Islam, baik di dalam sistem distribusi, penetapan harga, maupun produk yang dipasarkannya.

Adapun hakikatnya adalah setiap gerak usaha berorientasi ibadah, sedangkan dasar syariahnya berkaitan dengan upaya meraih kesuksesan dan keberkahan berdasarkan prinsip muamalah Islamiyah melalui jaringan silaturahmi. Komitmen yang dibangun adalah jihad iqtishadi atau ekonomi di bawah rida Allah SWT.

Bagaimanakah pendapat pakar ekonomi Islam?

Prof. Dr. H. Tb. Hasanuddin, M.Sc., mengatakan bahwa ciri-ciri MLM sesuai syariat Islam itu antara lain adanya kesejahteraan bersama, rahmatan lil alamiin. Jadi, bukannya MLM itu sesuai syariat Islam atau tidak. Alasannya, bisa saja sebuah MLM diklaim sesuai syariat Islam, sedangkan sistem yang dipergunakannya sistem kapitalis.

"Jadi, bagi saya tidak persoalan apakah berdasarkan syariat atau tidak karena yang penting apakah MLM itu likulli insan, likulli jemaah atau rahmatan lil jamaah. Kalau rahmatan lil pemilik modal dan kelompok, saya kira ini bukan berdasarkan syariat Islam. Yang paling cocok dengan syariat Islam adalah koperasi karena koperasi memiliki modal yang berada di tangan jemaah, bukan pemilik modal. Selain itu, MLM sesuai syariat, punya produk atau jasa yang berstatus halal," ujar Hasanuddin.

Sementara itu, menurut Dr. K.H. Miftah Faridl -- yang juga menjadi Dewan Syariah SM "CNA" -- yang perlu menjadi catatan penting dalam menjalankan usaha semacam MLM atau smart marketing adalah sbb:

1. Adanya transaksi riil atas barang atau jasa yang diperjualbelikan

2. Tidak ada excessive mark up harga barang atau jasa sehingga para anggota terzalimi dengan harga yang sangat tinggi, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperolehnya.

3. Harga barang dan jasa diketahui dengan jelas pada saat transaksi.

4. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.

5. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir.

6. Pembagian bonus senantiasa mencerminkan usaha masing-masing anggota (adil).

7. Barang atau jasa yang diperdagangkan bukan barang atau jasa yang haram.

"Dengan memerhatikan catatan itulah, saya mendukung berdirinya SM 'CNA' pada 25 April 2003 di Bandung. Perusahaan yang menerapkan pola MLM digagas oleh mubalig muda Deni Triesnahadi alias Abu Syauqi, Aries Setyo Priyono, dan Aulia Ramadini. Produk perdananya adalah produk jasa berupa pelayanan tabungan syariah qurban (tasya-Qur)," ungkap K.H. Miftah Faridl.

* *

MENGAPA ada fonomena warga masyarakat yang keluar dari aktivitas bisnis MLM?

Menurut Prof. Dr. Hasanuddin, adanya anggota masyarakat yang akhirnya berhenti di tengah jalan itu tampaknya karena ada kendala tatkala membeli produknya. Untuk itulah diperlukan adanya jaringan kerja.

"Bila tidak bisa membeli produk secara sendiri, kita bisa membeli produk tersebut secara bersama-sama dengan anggotanya sehingga meringankan untuk pembelian barang tersebut," ujar Hasanuddin.

Misalnya, saya punya uang Rp 10 ribu, sedangkan produk tersebut harganya Rp 50 ribu. Apabila kita punya anggota 4 orang, akan terpenuhi dengan patungan sebesar Rp 10 ribu. Nantinya, keuntungan untuk bersama-sama. Begitu pula anggota di bawahnya membuat jaringan serupa. Jika hal itu berjalan, ia tidak akan berhenti sampai di situ.

EYP/Aji/"PR"-Jalu-Jihad
(Pikiran Rakyat)

No comments: