Tuesday, August 21, 2007

Memahami Multi Level Marketing

Ketika saya membaca artikel Rhenald Kasali berjudul “Orde Antipemasaran” di tabloid Kontan, saya tercenung memikirkan, apakah saya ini anggota Partai Antipemasaran? Termasuk kelompok manakah saya dalam pikiran Rhenald? Apakah saya termasuk: (1) Kelompok idealis “humanis”; (2) Kelompok yang menjauhi pemasaran karena merasa di negeri ini bisnis dapat dilakukan tanpa pemasaran; (3) Kelompok yang pernah dan sedang memimpin bangsa ini, atau (4) Kelompok dalam pemerintah yang antipemasaran karena ingin mengatur secara berlebihan dan terkadang ingin tampil sebagai pahlawan dengan citra sebagai moralis-nasionalis?

Jelas saya tidak masuk dalam daftar kelompok yang ketiga maupun keempat. Saya juga tidak termasuk kelompok kedua yang antipemasaran, tetapi menempatkan pemasaran sebagai second thing di bawah etika bisnis atau etika pemasaran. Dan saya juga tidak hedonis dalam arti mengejar apa yang disebut Rhenald sebagai “kepuasan pribadi”. Saya justru merasa yang harus dipuaskan itu bukan “keinginan manusia” yang bernama stakeholder atau pelanggan sekalipun. Sebab manusia itu sendiri hidup untuk sesuatu yang lebih bernilai di luar dirinya (katakanlah untuk menyembah dan memuliakan Penciptanya), bukan dirinya sendiri yang berarti mengilahkan atau mengkultuskan diri. Karenanya ilmu pemasaran memerlukan kompas, yakni etika pemasaran itu sendiri.

Sekalipun tidak termasuk dalam kelompok antipemasaran, saya juga tidak propemasaran yang menempatkan pemasaran sebagai hal yang terpenting dalam bisnis seperti pandangan MarkPlus-Hermawan. Sajian nilai (brand, service, process), dan strategi pemasaran (segmentasi, targeting, positioning), serta taktik (diffentiation, marketing-mix, selling) sangatlah penting tetapi bukan yang terpenting, bukan sesuatu yang mutlak dan bukan segalanya. Pendewaan pemasaran sebagai hal yang mutlak dan penting, sehingga Hermawan pernah mengusulkan diadakannya Menteri Negara Urusan Pemasaran, mengindikasikan arogansi “sektarian” pakar pemasaran yang merasa mampu memasarkan segala hal, termasuk negara.

Karena tidak antipemasaran tetapi juga tidak propemasaran, saya mungkin termasuk dalam kelompok yang tidak ada dalam frame of thinking Rhenald maupun Hermawan. Hal mana, mengindikasikan kemungkinan Hermawan dan Rhenald “terpenjara” oleh frame of thinking dari buku-buku dan sekolah-sekolah bisnis terkemuka, atau frame of thinking yang mendewadewakan pengalaman bahwa konsep MarkPlus telah terbukti bukan sekadar “scientific model” tetapi “conceptual model”. Keterpenjaraan itu membuat Hermawan kesulitan memahami “binatang” apakah Multi Level Marketing itu. Sementara itu Rhenald menyatakan keberatan dengan penggunaan istilah “marketing” dalam Multi Level Marketing, antara lain karena menyamakan MLM dengan praktik-praktik penggandaan uang.

Jika MarkPlus adalah simbol status quo, barangkali tidak berlebihan menganggap MLM sebagai simbol reformasi pemasaran. Lalu bagaimana keterkaitan MLM dengan apa yang saya sebut sekolah kehidupan?

MLM Simbol Reformasi Pemasaran?

Dalam kajian mengenai konsep-konsep bisnis pengusaha Indonesia (Andrias Harefa, Membangkitkan Roh Profesionalisme: Reformasi Teori dan Praktek Bisnis, Gramedia, 1999), saya menyinggung salah satu teori bisnis pengusaha MLM, PT Centranusa Insancemerlang (CNI). CNI saya pilih, antara lain, karena kepeloporannya di Indonesia, dan keberhasilannya menembus pasar luar negeri, bahkan sampai ke negeri leluhur MLM, Amerika Serikat. CNI yang berdiri sejak tahun 1986, juga telah berhasil menjadi market leader dan trend setter dalam bisnis MLM di tanah air. Dan saya berani bertaruh, CNI akan panjang usianya.

Mengatakan MLM sebagai simbol reformasi pemasaran mungkin akan dianggap sebuah “ide gila” bagi pakar pemasaran yang tidak mengerti MLM. Sama gilanya dengan keberhasilan (rakyat dan) mahasiswa me-lengser-kan Presiden Soeharto, Mei 1998. Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Rich DeVos, mitra Jay van Andel yang mendirikan Amway Corporation pada tahun 1959 di Ada, Michigan, Amerika Serikat. Penulis buku laris “Compassionate Capitalism” (1993) itu pernah berkata, “Bagi berjuta-juta orang di dunia, Amway (mewakili MLM-pen) bisa tampak tepat sebagaimana Anda memikirkannya. Sebuah ide gila” (Robinson, 1996, hal. 13).

Letak “kegilaan” konsep bisnis MLM (Amway, CNI, dan MLM lainnya), antara lain: Pertama, keyakinan bahwa sebuah produk yang baik dapat dipasarkan langsung kepada konsumen tanpa melewati jalur distribusi tradisional, dan nyaris tidak mengandalkan promosi kecuali mouth to mouth (getok tular). Dengan cara ini banyak biaya bisa dihemat dan dialihkan menjadi komisi penjualan yang besar. Ini berbeda dengan perusahaan yang menggunakan konsep pemasaran status quo, perusahaan MLM menolak cara-cara pemasaran yang ruwet dan boros. Mereka lebih mengandalkan common sense (akal sehat) saja. Mereka lebih percaya bahwa quality talk loudly, dan mengesampingkan trik-trik membangun brand produk yang overpromise. Dan perusahaan MLM terkemuka (Amway dan CNI) dengan berani memberikan jaminan uang kembali kepada konsumen yang tidak puas, berlaku selama 30-90 hari sejak tanggal pembeliannya (money back guarantee).

Kedua, keyakinan pada “Prinsip Papan Catur” atau “Prinsip Duplikasi”, yakni perkembangbiakan jaringan distributor melalui kontak-kontak pribadi dari rumah ke rumah.

Ketiga, keyakinan terhadap hak konsumen untuk mendapatkan informasi terbaik melalui penjelasan langsung dari distributor yang juga berperan sebagai konsumen produk yang dijualnya. Keyakinan ini membuat perusahaan MLM yang baik tidak merasa perlu memasang iklan secara jor-joran untuk menciptakan suatu brand image yang sering kali justru menyesatkan konsumen (karena tidak disertai penjelasan yang memadai). Keyakinan ini ikut berperan dalam keberhasilan para distributor MLM yang baik. Distributor yang sukses justru bukanlah yang pandai “bersiasat-ria” tetapi yang mau belajar jujur dan transparan dalam menjalankan usahanya.

Keempat, keyakinan bahwa jiwa perusahaan (the soul of the company) bukanlah pada ilmu pemasaran tetapi lebih pada prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan motivasi yang menggerakkan the man behind the marketing science. Keyakinan ini memberikan sedikitnya dua konsekuensi yakni: (1) Perusahaan MLM yang baik menempatkan nilai-nilai etis yang meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai kunci-kunci keberhasilan yang sejati. Nilai-nilai etis ini dikodifikasi dalam Kode Etik dan Aturan Perilaku yang harus disepakati oleh mereka yang berminat terjun ke bisnis MLM. Dapat dikatakan bahwa perusahaan MLM yang baik meletakkan etika bisnis (bukan ilmu pemasaran atau ilmu manajemen lainnya) sebagai panglima; dan (2) Perusahaan MLM yang baik mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk mengembangkan paradigma, pengetahuan, sikap, dan keterampilan para distributor. Mereka menjadi perusahaan yang benar-benar concern terhadap pengembangan harkat dan martabat manusia, dan bukan sekadar pemasar andal yang menghalalkan segala cara untuk mencapai target usaha.

Menempatkan etika bisnis sebagai panglima itulah yang saya kira mengabsahkan usaha MLM sebagai simbol dari reformasi pemasaran. Sebab, sejauh yang mampu saya tangkap, intisari dari arus reformasi adalah membangun manusia beretika, berakhlak, bermoral, dalam semua bidang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Belajar di Sekolah Kehidupan

Dalam berbagai kesempatan saya selalu mengatakan pentingnya kita belajar di luar kelas dan bangunan sekolah atau universitas tradisional. Belajar di sekolah atau universitas kehidupan itu berarti memenuhi tanggung jawab untuk bertumbuh dari (1) manusia pembelajar yang masih bodoh, menuju (2) manusia pemimpin yang pintar, dan menjadi (3) manusia guru yang arif bijaksana. Dalam konteks bisnis MLM, ini berarti menjadi distributor dalam tingkat (1) anggota jaringan atau network members, menuju (2) pembangun jaringan alias network builders, dan (3) menjadi pemimpin jaringan alias network leaders.

Dengan konsep belajar di sekolah kehidupan, dapat dikatakan bahwa mereka yang bergabung dengan perusahaan MLM yang baik sesungguhnya mendaftar di “Universitas Kewirausahaan MLM”. Mereka belajar berwirausaha, bukan sekadar belajar marketing. Kurikulum dan mata pelajaran di “Universitas Kewirausahaan MLM” ini mencakup setidaknya empat hal: Pertama, etika bisnis sebagai kompas yang memandu berbagai aktivitas mencari nafkah hidup. Pelanggaran terhadap kode etik dan aturan perilaku distributor dapat dikenakan sanksi pencabutan keanggotaan. Kedua, kepemimpinan etis yang berkiblat pada kebenaran. Cara menjadi pemimpin jaringan (network leaders) adalah menolong orang lain untuk dapat mandiri dan memimpin dirinya sendiri. Ketiga, inovasi sistematik sebagaimana diajarkan Peter F. Drucker. Hal ini memungkinkan distributor MLM untuk benar-benar menjadi wirausaha mandiri dan bukan sekadar marketer. Keempat, upaya meningkatkan kualitas dan keunikan usaha agar tetap unggul dalam persaingan yang sehat, win-win solution atau co-opetition.

Para guru atau dosen di “Universitas Kewirausahaan MLM” beraneka ragam. Sekalipun mereka cukup banyak yang berbau “akademis”, namun ajaran-ajaran yang mereka sampaikan semuanya bersifat praktis dan aplikatif. Tak ada tempat untuk teori-teori muluk yang hanya memuaskan otak kiri dan sama sekali tidak mengasah kecerdasan emosional kita.

Di “Universitas Kewirausahaan MLM” tidak ada sertifikat, ijasah, dan sejenisnya. Tanda keberhasilan seseorang, sebagaimana pernah dikatakan Abrian Natan dalam sebuah wawancara dengan majalah Tiara, adalah keberhasilan orang lain. Menolong orang lain adalah cara yang paling efektif untuk menolong diri sendiri, dan hal itu merupakan “mata kuliah” wajib untuk dapat naik ke peringkat yang lebih tinggi.

Paparan di atas menegaskan bahwa usaha MLM memang tidak dapat dipelajari hanya dari literatur pemasaran, karena berada di luar frame of thinking para pakar pemasaran. MLM hanya dapat dipahami secara lebih baik dengan studi lapangan, bertemu, dan berdialog dengan para distributor yang tekun dan bekerja keras membangun jaringan bisnis mereka. Praktisi MLM bukanlah penggemar teori-teori pemasaran, tetapi para wirausaha mandiri yang belajar di sekolah kehidupan.

Andrias Harefa (Pembelajar.Com)

No comments: