Tuesday, August 21, 2007

Komunikasi Empatik

Ingin menggalang banyak pendukung? Ingin mendapat banyak suara? Ingin agar permintaan dikabulkan? Ingin agar usulan diterima dengan baik? Ingin agar pendapat dimengerti? Ingin agar permohonan bantuan diberikan? Jika demikian, artikel berikut memang untuk Anda.

MENGAPA KOMUNIKASI?
Sebagian besar waktu kita dihabiskan untuk berkomunikasi: di rumah, di kantor, di organisasi sosial, ataupun di masyarakat umum. Dengan berkomunikasi kita menyatakan pendapat, mengajukan permohonan, meminta pertolongan, menawarkan solusi, menyampaikan instruksi, dan memberikan informasi kepada orang lain yang kita ajak berkomunikasi. Jelaslah bahwa komunikasi merupakan bagian yang penting dari kehidupan kita, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bisnis kita. Mantan presiden Amerika Serikat, Gerald Ford, mengatakan bahwa dalam kehidupan tidak ada apapun yang lebih penting dari pada kemampuan berkomunikasi yang efektif. Kemampuan berkomunikasi yang baik bisa membantu menyelesaikan banyak masalah dan mendatangkan banyak keuntungan bagi kita. Sebaliknya, kegagalan dalam berkomunikasi bisa berakibat fatal. Kegagalan ini dapat menyebabkan berbagai bencana: kesepakatan bisnis gagal, pertolongan tidak jadi diberikan, persahabatan putus, pekerjaan tidak jadi diperoleh, bahkan perang bisa tercetus.

KOMUNIKASI EMPATIK
Agar komunikasi bisa sukses, para pelaku komunikasi harus memperhatikan dan menerapkan prinsip komunikasi empatik berikut.

Keseluruhan, bukan sebagian. Tiga orang buta sedang berdiri mengelilingi seekor gajah dan mencoba memberikan gambaran mengenai sang gajah. Orang buta pertama yang memegang ekor gajah mengatakan gajah itu kurus dan panjang. Orang buta kedua yang memegang telinga gajah mengatakan gajah itu berkulit tipis dan lentur. Orang buta ketiga yang memegang perut kaki gajah mengatakan gajah itu berkulit keras, dan berbentuk bulat.
Moral ceritanya adalah dalam berkomunikasi, cobalah terlebih dahulu mencari informasi yang selengkap-lengkapnya sebelum memberikan komentar. Jika kita hanya memiliki sepenggal informasi, jangan langsung membentuk opini dan menyatakan pendapat berdasarkan informasi yang belum lengkap tersebut.

Yang perlu kita lakukan adalah melengkapi informasi yang kita miliki dengan banyak bertanya (bertanya kepada pihak-pihak yang terlibat sebelum mengambil keputusan dan mengkomunikasikan keputusan yang kita ambil), ataupun aktif mencari informasi tambahan yang diperlukan sehingga kita mendapat gambaran yang lebih lengkap terhadap apa yang akan kita komunikasikan.

Berusaha mengerti, baru dimengerti. Seorang manajer pemasaran produk elektronik berteknologi tinggi sedang menawarkan produknya kepada calon pelanggan. Supaya terkesan canggih, dalam menjelaskan spesifikasi produk yang ditawarkan, sang manajer menggunakan istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan produk elektronik tersebut.

Ia juga langsung menjelaskan fitur-fitur unggulan dari produk ini serta mendemokan penggunaan produk tersebut. Namun, karena bahasa yang digunakan terlalu canggih bagi calon pembeli, serta produk yang didemokan ternyata bukan produk yang dibutuhkan calon pembeli, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian: calon pelanggan tidak mau membeli produk yang ditawarkan.
Kenapa terjadi kegagalan seperti ini? Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People mengatakan dalam berkomunikasi, ada baiknya bagi kita untuk terlebih dahulu mencoba mengerti, sebelum menuntut untuk dimengerti.
Dengan mengerti duduk permasalahannya yang sebenarnya, serta mengerti siapa lawan bicara, akan lebih mudah bagi kita memahami apa yang dikomunikasikan orang tersebut, dan akan lebih mudah pula bagi kita untuk memberikan pendapat, masukan yang mudah dimengerti lawan bicara. Dalam kasus di atas, jika sang manajer terlebih dahulu mencoba mengerti calon pembeli (apakah calon pembeli cukup paham dengan istilah teknis?) dan kebutuhan calon pembeli, maka tentunya dalam mengkomunikasikan produk yang akan dijualnya, ia bisa menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami, dan memulai dengan pendekatan solusi bagi calon pembeli, bukannya solusi yang diasumsikan dibutuhkan oleh calon pembeli tersebut.

Diagnosa sebelum respon. Bapak Salim pergi ke dokter mata. Pada sang dokter, Pak Salim mengeluh ia tidak bisa menggunakan matanya untuk membaca. Sang dokterpun memeriksa mata Pak Salim, lalu meminta sang bapak membeli kaca mata yang sesuai dengan resep yang diberikan.
Seminggu kemudian Pak Salim kembali ke dokter mata yang sama. Ia mengeluh walaupun sudah membeli dan menggunakan kaca mata yang disarankan dokter, ia tetap tidak bisa membaca. Sang dokter menjadi bingung. Setelah diselidiki lebih jauh, ternyata permasalahannya bukan pada ukuran kaca mata, tetapi pada Bapak Salim sendiri karena Bapak Salim buta huruf.
Jadi, walaupun dokter menyarankan menggunakan kaca mata yang paling canggih sekalipun, Pak Salim tetap tidak akan bisa membaca. Jadi, moral yang bisa kita pelajari dari anekdot ini: sebelum kita memberikan pendapat, masukan atau jawaban, diagnosis terlebih dahulu secara teliti permasalahan yang dihadapi lawan bicara.
Setelah kita menemukan akar permasalahannya, akan lebih mudah bagi kita untuk membantu memberikan jawaban, solusi ataupun masukan yang diperlukan lawan bicara.

Keyakinan. Jika kita tersesat dan bertanya kepada orang yang kita temui di jalan tentang alamat yang kita cari, orang tersebut memberikan informasi tetapi ia tidak terlihat yakin akan informasi yang diberikannya kepada kita. Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan mengikuti petunjuk yang diberikan orang tersebut?
Jika kita pergi ke toko obat, dan si penjual menawarkan obat yang kita perlukan. Tetapi ketika ditanya apakah obat tersebut manjur, si penjual tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Apakah kita akan membeli obat yang ditawarkan tersebut?
Jawaban dari kedua situasi di atas kemungkinan besar adalah ”tidak.” Pada dasarnya, kita cenderung lebih percaya kepada orang yang memiliki dan menunjukkan keyakinan diri tinggi. Jadi, jika kita berkomunikasi, pastikan apa yang kita komunikasikan benar-benar kita kuasai dengan baik, dan benar-benar kita yakini kebenarannya.

Jika kita sudah yakin, akan lebih mudah bagi kita untuk meyakinkan orang lain.
Fokus pada orang lain. John Maxwell dalam bukunya Mengembangkan Kepemimpinan di Sekeliling Anda mengatakan dalam berkomunikasi, kita perlu lebih memfokuskan perhatian kita pada orang yang kita ajak berkomunikasi, bukannya pada diri sendiri melulu. Dengan memberikan fokus perhatian kepada orang lain, maka orang merasa kita memperdullikan mereka.
Kalau orang merasakan kita memang memberikan perhatian, kepedulian, dan rasa hormat kepada mereka ketika mereka berbicara ataupun menyampaikan pendapat, maka mereka akan juga bersedia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang akan kita komunikasikan kepada mereka.
Dengan memfokuskan perhatian kepada orang lain, kita bisa lebih mudah memahami siapa lawan bicara kita (apa keinginan mereka, apa permasalahan mereka, apa yang mereka perlukan dari kita). Jika kita telah memahami mereka, tentunya kita bisa mengkomunikasikan apa yang kiranya dapat menarik perhatian mereka, dan apa yang kiranya mau mereka terima, beli, ataupun dukung.

Kontak mata. Kontak mata merupakan bagian yang penting dalam berkomunikasi. Dengan melibatkan kontak mata dengan orang yang kita ajak bicara, kita memberi kesan dan pesan kepada orang tersebut bahwa kita sungguh-sungguh terhadap apa yang kita komunikasikan. Kesungguhan kita ini tentunya akan mendorong lawan bicara memperhatikan dengan seksama apapun yang kita komunikasikan.
Mereka juga lebih percaya kepada kita karena kesungguhan yang kita perlihatkan, sehingga akan lebih mudah bagi mereka memberikan dukungan ataupun memberikan jawaban ”Ya” atas permintaan kita, atau melakukan apapun yang kita anjurkan kepada mereka.

Senyum Hangat. Jika kita berpapasan dengan orang lain (yang tidak kita kenal sama sekalipun) di lift, di tangga, ataupun di koridor kantor, cobalah sapa orang tersebut (dengan mengucapkan: Selamat Pagi, Selamat Siang, atau sekadar sapaan sederhana ”Hai”) dan berilah senyuman hangat. Hampir bisa dipastikan orang tersebut akan tersenyum kembali kepada kita.
Yah, senyuman, menurut Maxwell, memang merupakan senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk membuka komunikasi. Senyuman yang tulus dan hangat dapat mengatasi berbagai hambatan dalam komunikasi (misalnya: ketegangan, kecurigaan, kemarahan, kecemburuan).
Sebuah senyuman juga merupakan indikasi kita memiliki emosi positif terhadap orang yang kita ajak berkomunikasi. Jika lawan bicara merasa kita memang ”suka” berkomunikasi dengannya, akan lebih mudah bagi orang tersebut menerima masukan, pendapat, ataupun solusi yang kita tawarkan kepadanya.

Saling Menyukai. Nasihat siapa yang cenderung kita terima: musuh atau kawan? Pendapat siapa yang cenderung lebih kita dukung: orang yang tidak kita kenal sama sekali atau orang yang sudah sangat kita kenal dengan baik? Omongan siapa yang lebih cenderung kita percaya: orang yang kita hormati dan menghormati kita atau orang yang membenci kita.
Intinya, komunikasi akan efektif, jika orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut saling menyukai. John C. Maxwell juga memiliki pendapat yang sama. Maxwell berpendapat menyukai orang lain yang kita ajak berkomunikasi merupakan awal kemampuan berkomunikasi yang efektif.

Menyukai dan disukai, tidak bisa terjadi dalam sekejap. Kita perlu berinvestasi dalam kebaikan di rekening ”bank emosi” masing-masing. Semakin besar jumlah investasi kita di rekening ”bank emosi” orang yang kita ajak berkomunikasi, semakin besar kemungkinan orang tersebut akan mengerti, menerima, dan mempercayai semua yang kita komunikasikan kepadanya.
Demikian pula sebaliknya, semakin besar investasi orang lain di rekening ”bank emosi” kita, semakin mudah bagi orang tersebut untuk sukses berkomunikasi dengan kita.

Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak prinsip yang bisa kita terapkan untuk sukses berkomunikasi. Namun, berbagai prinsip komunikasi empatik yang baru saja dibahas disini tidak akan ada artinya, jika kita hanya memajangnya sebagai kata-kata manis. Kuncinya adalah: praktikan prinsip tersebut untuk mengasah kemampuan berkomunikasi yang empatik. Selamat berkomunikasi!n
(Sinar Harapan)

No comments: