Friday, August 3, 2007

Manajemen Dengan Spiritualitas

Sejak surga dan bumi diciptakan oleh Eksekutif Agung di Langit, hingga berkuartal-kuartal fiskal kemudian, lahirlah perusahaan pertama. Dan kini, ketika milenium baru semakin dekat, ada suatu kecenderungan yang tenang muncul. Yaitu, hadirnya pelaku-pelaku bisnis yang mencampurkan spiritualitas dan kerja untuk menciptakan sebuah perusahaan yang mempunyai jiwa.

Kaum atheis dan agnostik tidak perlu khawatir. Tujuan mereka bukanlah membuat karyawan bertobat lalu memeluk suatu agama. Orang-orang penting dalam perusahaan itu tidak mengucapkan doa Bapa kami, atau menyanyikan mantera Buddha di ruang rapat dewan direksi. Mereka hanya memasukkan nilai-nilai spiritual tradisional, bukan prinsip “new age", ke dalam kantor dan pabrik untuk mendapatkan moral tinggi dari pekerja, kepuasan pelanggan yang lebih baik, bahkan makna yang lebih mendalam dari kehidupan mereka. Semua keuntungan pun diperoleh secara jujur.

Para pelaku bisnis yang memeluk prinsip ini menyebut dirinya menjalankan “fungsi pelayan perusahaan” atau “manajemen berdasarkan dharma". Ada juga yang berbicara tentang “kepemimpinan holistis". Apa pun cap yang ditempelkan pada mereka, mulai dari eksekutif blue chip sampai pengarang terkemuka Kenneth Blanchard (One Minute Manager) dan Stephen Covey (Principle Centered Leadership), mereka mengumandangkan kotbah mengenai falsafah manajemen baru ini.

“Ini adalah sebuah revolusi yang tenang dan tumbuh perlahan-lahan, tetapi kami mencapai massa yang penting,” demikian kata Larry Spears, direktur Greenleaf Center, sebuah institut kepemimpinan yang terletak di Indianapolis. “Orang mengambil pandangan yang lebih luas tentang spiritualitas. Mereka yang dulunya hanya pergi ke gereja pada hari Minggu telah mengalami evolusi menjadi orang yang berusaha memadukan pertumbuhan pribadi dan spiritual dengan pekerjaan.”

Menurut penganjur manajemen spiritual, karyawan bisa menciptakan kembali perusahaan dengan mengikuti rancangan nilai-nilai seperti belas kasihan, pembuatan keputusan yang dibagi bersama, dan pembangunan masyarakat. Satu model perusahaan holistik berusaha menciptakan keserasian hubungan karyawan, etika dan kepercayaan organisasi yang kuat di seluruh perusahaan, serta dalam hubungannya dengan pelanggan dan masyarakat di sekelilingnya.

Perusahaan menciptakan pembagian keuntungan dengan karyawan. Dan perusahaan akan mengucurkan uangnya kembali pada kelompok-kelompok masyarakat lokal, walaupun hampir semua perusahaan telah membagi-bagikan hadiah amal dalam tahun-tahun belakangan. Akhirnya, perusahaan holistik memandang lingkungan yang lebih sehat sebagai tujuan penting.

“Kalau dulu bisnis dipandang sebagai cara untuk kaya, pada masa sekarang ini, bisnis dipandang sebagai sarana yang digunakan oleh individu untuk mewujudkan wawasan pribadi mereka, melayani orang lain, dan membuat perbedaan di dunia,” kata Herman Bryant Maynard Jr., eksekutif DuPont Co. dan pengarang buku The Forth Wave: Business in the 21st Century.

“Memang, ini adalah pedang bermata dua,” kata Edward Lawler, direktur Pusat Kepemimpinan Efetif Universitas Southern California. “Kalau anda mengajak orang berfilsafat, anda bisa mengembangkan rasa akan tujuan dari orang tersebut. Tetapi semakin dekat anda pada nilai-nilai, semakin besar resiko anda akan menyinggung perasaan orang lain dan melakukan sesuatu yang melanggar norma. Seperti diskriminasi atau pemecatan yang tidak semestinya.”

Sementara banyak perusahaan-perusahaan berusaha membangun kembali usahanya dalam masa resesi, Lawler melihat banyak majikan meninggalkan “nilai-nilai positif” dan pernyataan misi yang mereka susun sendiri. Bahkan, banyak perusahaan melakukan “apa saja yang diperlukan untuk tetap menjalankan bisnisnya.” Eksekutif yang sudah kelelahan karena pertempuran bisnis mengakui bahwa arena bisnis yang kejam tidak selalu menyambut baik etos yang baru.

Keserakahan, pemecatan, pertikaian hukum, pengambil-alihan dengan kekerasan, pertarungan buruh-majikan, semuanya masih menjadi pemandangan suram mengenai perusahaan.

“Perubahan akan datang dari puncak. Kebanyakan eksekutif secara tradisional sudah terlatih untuk melihat angkatan kerja sebagai mesin,” kata Jeffrey McCollum, seorang konsultan manajemen dari Hillsborough, New Jersey. “ Kini, para manajer ini tidak boleh lagi mengabaikan sisi karyawan manusia yang lembut dan berjiwa. Setiap orang ingin dihargai. Organisasi perlu mengembangkan jiwa ini, hubungan manusia yang mendalam ini.”

Manajemen yang suka bekerja sama - bukannya yang siap tempur - telah sukses dicontohkan di Xerox Technology Venture, sebuah kelompok modal usaha di El Segundo, California. Tim-tim kerja di anak perusahaan Xerox Corp. menghormati bakat dan sumbangan setiap karyawan. Satu kelompok insinyur perangkat lunak dan bagian penjualan belajar bagaimana menjalin komunikasi dan memecahkan masalah untuk mengatasi peselisihan di antara mereka dan membangun saling percaya. Kemudian mereka menangani proyek perangkat lunak yang merugi, yang tampaknya ditakdirkan untuk bangkrut. Namun yang terjadi justru dengan rasa suka cita, mereka menyaksikan penjualan perangkat lunak melonjak dari $500.000 menjadi $3 juta. Bahkan, mereka mengantisipasi tingkat penjualan $6 juta untuk tahun mendatang. “Sesuatu yang istimewa telah terjadi. Ini bersinar terang dalam keberhasilan bersama,” kata Robert Adams, presiden direktur kelompok usaha ini dan seorang pinitua di Gereja Presbyterian. “Dalam tradisi kami, prinsipnya adalah “Lakukan kepada orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan oleh mereka.” Dalam dunia bisnis, ini menciptakan apa yang disebut dengan organisasi belajar sehingga semua karyawan bisa menemukan pemenuhan.” Manajemen spiritual mempunyai akar yang sudah lama tertanam di dunia bisnis.

Sejak tahun 1960-an, ahli masa depan dan eksekutif di tiga kelompok ahli pikir Northern California yang berpengaruh - Standard Research Institute, Esalen Institute, dan World Business Academy - telah berbicara panjang lebar mengenai perubahan spiritual dalam bisnis dan ekonomi. Banyak prinsip manajemen spiritual berasal dari mantan eksekutif AT&T, mendiang Robert Greenleaf, yang melahirkan kepemimpinan-pelayan, sebuah falsafah bahwa bisnis punya misi untuk melayani manusia dan masyarakat. Tetapi baru belakangan ini saja gagasan mereka tersebar luas ke dunia perusahaan.

Mengapa sekarang? Para pakar bisnis mengatakan pemecatan massal telah memaksa banyak orang memeriksa kembali kehidupan mereka. Berjuta-juta “baby boomer” mencari spiritualitas. Kaum wanita dalam bisnis menciptakan tempat kerja yang lebih baik hati. Keserakahan tahun 1980-an mungkin menggugah hati nurani sosial. “Kita bisa meluhurkan jiwa manusia, atau kita bisa menghancurkannya,” kata Rabbi Wayne Dosick, pengarang buku The Business Bible dan profesor di Universitas Katolik San Diego. “Kalau kita meluhurkan jiwa manusia, kita bisa mendatangkan makna dan nilai ke dalam pasar modern.”

Edward Iwata
(Disadur dari Edward Iwata, Some Executives Are Trying to Make Companies
Heed a Higher Authority. Dari: Reflections on Leadership)
(http://tao.infoproduk.com)

No comments: